Baby's Breath Chapter 28


.

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kembali pulang bersama Chanyeol agak terasa seperti mimpi. Rasanya seolah telah bertahun-tahun semenjak mereka bertemu satu sama lain, bahkan mungkin berabad-abad, namun sebenarnya tahun hanyalah bulan dan Baekhyun hanya melebih-lebihkan.


Dalam perjalanan pulang, ibu Baekhyun mentraktir mereka semua mi kedelai hitam dan Jongin, tentu, diundang makan pula. Mereka berempat duduk di satu meja dan Baekhyun duduk berhadapan dari Chanyeol disamping Jongin. Agak bodoh memikirkannya, namun setelah semua yang telah terjadi, ia merasa amat bahagia makan bersama dengan... berani ia katakan, keluarganya di restoran Cina lama yang biasa ia datangi pada “peristiwa besar” seperti pra-turnamen bola dan perayaan.

Mi kedelai hitam bagi pria miskin sama halnya seperti stik bagi pria kaya, namun Baekhyun telah lama tak memakannya karena ibunya berkata bahwa makan diluar hanya akan membuang-buang uang.

Ia tersenyum pada Chanyeol saat mereka makan, berharap ia akan mengerling sesekali dan menyukai bagaimana Chanyeol kini, menyendok makanannya bagai anjing kelaparan. Sulit rasanya untuk tak tertawa saat Chanyeol mengangkat kepalanya dan menunjukkan setengah bagian bawah wajahnya kotor oleh saus.

Namun Baekhyun tak menghentikannya.

“Makan yang banyak, ya? Kau pasti sangat lapar,” ia terkekeh dan meletakkan seiris lobak di atas mi Chanyeol malu-malu meski ia tersenyum lembut.

Jongin bergumam ketika ia melihat hal ini, menyikut Baekhyun dengan seringai masam. “Sekarang saat kau sudah bahagia atas saudaramu, kau melupakan segalanya tentangku, huh? Mana lobakku! Nyonya Byun, bisakah kau percaya hal ini?”

Chanyeol nampaknya mengerti olok-lok Jongin karena ialah yang tertawa paling keras di meja.

Ketika mereka akhirnya sampai di rumah, Chanyeol-lah yang pertama melangkah masuk bagai seekor anak anjing yang penasaran pada lingkungan barunya. Segalanya kurang lebih terlihat sama kecuali kamar Chanyeol yang telah disusun ulang menjadi ruang belajar terpisah untuk Baekhyun. Barang-barang Chanyeol masih perlu dipindahkah dari institusi yang mana adalah alasan mengapa ibu Baekhyun memberitahu mereka berdua untuk berbagi kamar hingga barang-barang itu sampai.

Baekhyun secara mengejutkan menerima hal itu begitu saja.

Lantaran ibunya mengomel tentang dua pemuda tak seharusnya tidur di satu kasur yang sama dengan hormon mereka yang mengganas dan apalah itu (entah apa maksudnya), Chanyeol harus tidur di lantai.

Baekhyun barangkali akan membantunya melapiskan selimut, namun kakinya yang cedera membuat sebagian besar tubuhnya lumpuh dan efek jatuh sebelumnya juga memperparah rasa sakitnya.

Namun Chanyeol mengurus segala sesuatu sendiri, menyiapkan tempat tidurnya, memakai piyama, dan bahkan membantu Baekhyun memakai piyamanya saat pemuda itu kesulitan memasangkan celana. Ia bahkan, juga, membawa sebuah mangkuk dan sikat gigi agar Baekhyun tak perlu pergi ke kamar mandi.

Baekhyun ingin bicara dengan Chanyeol sedikit lebih lama tetapi ibunya telah mematikan lampu dan keduanya terkurung dalam kegelapan untuk beberapa saat, hingga stiker glow-in-the-dark mulai bercahaya. Ia mencoba tertidur namun fakta bahwa Chanyeol kini secara harfiah berada di sisinya membuat ia bersemangat dan ia tak ingin kehilangan satu menitpun. Setelah beberapa saat, ia berbalik dan melihat kepala Chanyeol menyembul dari ujung tempat tidurnya, manik mata memandangnya kala tidur.

Ia menjerit. “Ya Tuhan! Jangan menakutiku!” keluhnya, menumpu tubuhnya pada siku.

Chanyeol melipat lengannya pada sisi tempat tidur Baekhyun dan tersenyum lebar.

“Baekhyunnie?”

Baekhyun berguling ke samping dan menatap Chanyeol, bergumam ngantuk. “Yeah?”

Untuk beberapa lama, Chanyeol hanya tersenyum.

“Kau tak bisa hanya memanggilku tanpa mengatakan sesuatu.” Baekhyun berujar, memprotes hanya untuk menutupi fakta bahwa ia tengah bersemu gelap dari pipi hingga keujung telinganya. Ia menyalahkan fakta bahwa ia tak pernah terbiasa berkontak mata dan dipandangi seseorang tanpa alasan. Didorongnya dahi Chanyeol mundur dan menghela nafas. “Tidurlah.” ketika ia sesungguhnya berkata “Mari bicara lebih banyak.”

Mereka bicara amat lama sampai Baekhyun tak lagi mengingat waktu hingga ia mengerling ponselnya dan sadar bahwa ini telah pukul tiga subuh. Matanya memerah dan ia melawan rasa kantuk, hanya untuk bicara pada Chanyeol sedikit lebih lama.

Ia terkejut bahwa ada banyak hal yang dapat dibicarakan tanpa menyinggung satupun hal yang serius. Mereka bicara tentang hewan-hewan di kebun binatang yang barangkali merindukan rumah, bagaimana nanas tumbuh, apa yang akan mereka lakukan esok hari, dan mengapa para gadis memoles kuku mereka. Semua yang Chanyeol tanyakan, Baekhyun punya jawabannya. Ia juga menanyakan beberapa pertanyaan dan cukup senang meski terkejut saat Chanyeol mencoba menjawab sebisanya.

Seperti saat ia bertanya “mengapa siput berjalan begitu lambat?” dan Chanyeol akan menjawab “mungkin mereka tak ingin waktu berjalan begitu cepat” dan itulah satu-satunya hal yang melebihi logika dari jawaban yang ia pikirkan.

Setengah jam kembali berlalu dan Baekhyun telah menyerah untuk tetap terjaga, jadi ia berbaring hati-hati dan mendorong Chanyeol kesamping untuk masuk ke dalam selimut bersamanya. Ruang yang kini ia tempati terasa hangat dan ia tak sadar seberapa besar ia merindukan hal ini hingga saat ini, dengan tubuh Chanyeol menghangatkan sisinya.

Ia berbalik kesamping dan menyangga kepala dengan lengannya, mencoba mengabaikan rasa nyeri yang terus berdenyut di lututnya meskipun ia telah meminum obat penawar rasa sakit sebelum tidur. Selama lukanya belum sembuh betul, para dokter meyakinkan bahwa rasa sakitnya akan terus ada hingga bulan depan, atau rasa nyeri terus menerus selama sisa hidupnya bila ia terlalu sering membebani kakinya.

“Kita tak akan bisa bermain sepak bola lagi.” Ujar Baekhyun dengan senyum penuh permintaan maaf, menutup matanya dengan setengah alasan mengantuk dan alasan lainnya karena tak mau tertangkap basah bahwa ia menangis.

“Tak mengapa.” kata Chanyeol.

“Tidakkah kau malu dengan aku yang seperti ini? Aku yang tak akan bisa berman denganmu atau apapun juga? Aku akan menggunakan kursi roda bertahun-tahun, mereka bilang aku tak akan mampu berlari lagi.”

Chanyeol menggeleng.

Baekhyun baru saja hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian ia mendengar Chanyeol mendengkur dan mengingat betapa parah narkolepsinya. Ia tak yakin bagaimana hal itu terjadi, namun Chanyeol punya kemampuan mengerikan untuk tertidur dalam waktu beberapa detik saja dimanapun dan kapanpun. Tersenyum, ia mencoba kembali tidur. Chanyeol mungkin sama sekali tak tahu tetapi Baekhyun telah mempelajari suatu hal baru, sesuatu yang berharga.

Tak perduli apapun, Chanyeol akan selalu mencintainya karena tak masalah bagaimana penampilan luar seseorang selama mereka adalah orang yang baik dibalik penampilan itu. Menjadi cacat dan terpasung pada kursi roda tak akan mengubah jati dirinya, layaknya IQ rendah yang tak menghalangi Chanyeol untuk menjadi segalanya yang ia inginkan: seorang manusia yang berbudi.

Ia bisa saja kehilangan kedua kaki dan satu mata dan Chanyeol masih akan tetap mencintainya.

Mungkin memang benar bahwa orang-orang polos menilik dunia dari sudut pandang berbeda, bahwa mereka mampu melihat jiwa seseorang dengan jelas disaat orang lain hanya menilai penampilan saja dan selalu menginginkan sesuatu yang lebih.

Baekhyun menghela nafas dan merasa tenang. Dari lantai, ia melihat sinar rembulan mengintip dari balik tirai dan membuat wajah Chanyeol bersinar dengan indah. Ketika ia tertidur, ia terlihat begitu tenang. Tanpa rambut cokelatnya yang keriting, ia hampir nampak lebih dewasa. Rambut pendek itu benar-benar menegaskan garis wajahnya meski wajahnya begitu kelelakian dan lebih menunjukkan telinga “Dumbo” yang seringkali Baekhyun sentil.

Ia tersenyum dan berharap semua ini bukanlah mimpi, atau bila ini memang mimpi, ia berharap ia tak akan pernah terbangun.

Ia benar-benar berpikir bahwa semua ini adalah mimpi ketika ia bangun dan duduk perlahan lalu melihat seluruh teman-temannya dari tim sepak bola memenuhi ruang kamar, hampir menyingkirkan apapun dari tempat mereka semula dan membuat kekacauan. Tentu saja, hal seperti ini cukup normal ketika sekelompok pemuda dibiarkan di sebuah ruang tertutup, tetapi mengapa mereka berada di sini?!

Jongin melompat duduk di sampingnya dan Baekhyun barangkali akan senang melihatnya bila saja ia tak melihatnya kemarin. “Hey! Kami punya kejutan untukmu, jadi bangun, Putri Tidur!” ia menyeringai, merengkuh wajah Baekhyun dan mencium pipinya dengan suara ‘pop’ keras.

“Jijik!” keluh Baekhyun dan mendorong Jongin menjauh, mencoba bertanya mengapa semua orang berada di sini. Apa ia melewatkan sesuatu atau mereka memang benar-benar bahagia melihatnya?

“Kami merindukanmu!” rengek Sehun, melempar lengannya disekitar Baekhyun dan menciumnya juga.

Kemudian menyusul Jongdae dan Minseok dan...

“Chanyeol!” Baekhyun menjerit ketika Chanyeol meniru teman-temannya dan menciumi wajahnya. Ia bersemu ringan, mencoba menghapus rona dari wajahnya meski ia merasa jijik dan teraniaya oleh sekelompok pemuda bau.

Chanyeol nyengir, jelas bersemangat tanpa alasan karena ia juga tak mengerti mengapa semua orang tiba-tiba berada di dalam kamar Baekhyun atau mengapa mereka membawa hadiah seperti bunga dan makanan ringan. Pikirnya hal itu karena mereka teman dan inilah yang dilakukan teman.

Ketika semuanya telah tenang, Jongin menepukkan tangan untuk mengumpulkan perhatian semua orang. Mereka berhenti menghujani Chanyeol dan Baekhyun dengan hadiah dan berhati-hati mendudukkan Baekhyun pada kursi rodanya, kemudan mendorongnya keluar ruang tamu tanpa menjelaskan apa yang mereka rencanakan. Bahkan Chanyeol mengikuti dengan bingung.

“Kami sedikit mengotori tangan kami dan membuat sesuatu untuk kalian,” Jongin tersenyum tipis, menarik gorden untuk menampilkan halaman belakang mereka yang mewah, sepenuhnya terpenuhi oleh petak Baby’s Breath dan mawar. Disana bahkan ada kolam kecil yang digali dengan ikan-ikan berenang berkeliling. Rasanya jelas sekali seberapa keras usaha untuk membangun taman ini karena terakhir kali ia melihatnya semua hanyalah sampah, dan itulah mengapa ibu Baekhyun memasang tirai di depan kacanya. Semua peralatan rusak dan usang telah hilang, tergantikan oleh kebun menawan penuh bunga di atas permadani rumput.

Wajah Chanyeol menempel pada kaca dan Baekhyun hanya menatap pemandangan itu penuh rasa kagum.

“Bagaimana...” ia berbisik, “Bagaimana bisa kalian...?”

“Kami mendengar tentang toko bunga yang ditutup dan memutuskan untuk melakukan eksplorasi kecil, menemukan kebun rahasia yang telah Chanyeol jaga. Lagipula tempat itu akan digusur dan akan diubah desainnya, kami sepakat untuk membawa kebunnya ke tempat yang lebih aman.” Jongin menjelaskan, melingkarkan lengannya pada bahu Sehun. “Aku yang mengaturnya, tidakkah kau bangga padaku?”

Mata Baekhyun tergenang air mata dan ia mengisakkan “terimakasih” tak jelas meski Chanyeol terlihat bersemangat melihat bayi-bayinya kini lebih dekat dengan rumah.

“Ahaha, lihat, Baekki menangis! Seseorang foto adegan ini!” tawa Jongin dan semua pemuda mengeluarkan ponsel mereka untuk mengabadikan momen emas ini.

Satu-satunya orang yang tak merasa lelucon ini lucu adalah Chanyeol yang mencoba melindungi Baekhyun. “Berhentilah mempermainkannya!” ia cemberut, mendorong pelan ponsel Jongin yang berada tepat di depan wajah Baekhyun. Pada akhirnya, semuanya hanya menjadi candaan dan Chanyeol serta Baekhyun berbalik kembali pada kebun, terpesona pada keindahannya.

Ia menoleh pada yang lainnya dan tersenyum. “Terimakasih.” Baekhyun berujar kembali. “Apa kalian tak keberatan beberapa menit meninggalkan aku dan Chanyeol sendiri? Ada yang harus kukatakan padanya.”

Teman-temannya dengan patuh meninggalkan ruangan untuk mereka berdua, namun Baekhyun tak mengatakan apapun hingga mereka berada di kebun, tirai tertutup di belakang mereka. Dikelilingi oleh pagar berupa semak keputih-putihan dengan hanya langit tak berbatas memayungi mereka, Baekhyun benar-benar merasa seolah berada di dunia mereka sendiri.

Ketika ia membuka mulut, semua kata lenyap tak tersampaikan.

Your Reply